Translate

Minggu, 05 April 2015

Potret Keluarga

Flashfiction ini diikutsertakan dalam Tantangan Menulis FlashFiction – Tentang Kita Blog Tour





Sumber Gambar



Mutia memandang langit dengan tatapan kosong dari balkon kamar tidurnya. Perasaan sedih, penat, tertekan, bergumul jadi satu memenuhi dadanya hingga nyaris saja dada ciptaan Sang Maha Pencipta itu meledak.
Di atasnya, matahari kian membara. Hari Minggu yang memuakkan, pikirnya.
Dari lantai bawah terdengar rentetan caci-maki serta jerit bersahutan antar sepasang suami istri. Mereka sedang ribut. Tak kalah membaranya.

"Haaash! Kita cerai!" Si lelaki menjatuhkan talak pertama.
"Ya udah, ayo! Kita jual rumah ini sekalian! Aku juga udah nggak sudi tinggal seatap sama kamu, Mas!" tantang wanitanya. Suara wanita itu melengking, menegang-negang ke seantero rumah.
Pun bisa jadi tetangga di sebelah kanan, kiri, depan, belakang mereka turut mendengar perang antar pasutri tersebut. Namun kedua orang ini sama sekali tak peduli.

"Terus Mutia gimana?"
"Gimana apanya?!"
"Kamu mau bawa dia?"
"Menurutmu?"


Pokok permasalahan mulai merembet ke hak asuh putri mereka. Mutia yang sedari tadi bergeming di balkon seraya mencoba menenangkan pikiran, kini beranjak masuk kamar.
Serampangan, ia menghamburkan diri ke ranjang, berguling-guling gelisah, kemudian membenamkan wajah kuyunya di balik bantal.
Baginya ini merupakan seburuk-buruk bunga tidur, dan ia ingin sesegera mungkin terjaga.


***


Ada yang bilang, kala seseorang dilanda kesedihan yang teramat sangat, Tuhan akan memberikan rasa kantuk pada orang itu agar ia dapat beristirahat sejenak dan melupakan segala beban pikirannya.
Mungkin inilah yang tengah terjadi pada Mutia. Siang itu ia benar-benar tertidur, sampai sebuah ketukan di pintu membangunkannya.

"Nggak siap-siap sekolah?" tanya Ibu.
"Sekolah? Bukannya sekarang Minggu?"
Wanita di hadapannya memutar bola mata, "Kemarin memang Minggu, sekarang udah Senin. Kamu aja ngurung diri terus di kamar dari kemarin siang."
Mutia mengerutkan dahi. Siapa sangka bahwa ia akan tertidur begitu lama? Sejak matahari bulat-bulat berada di tengah, sampai menghilang ke arah barat, dan rekah lagi dari timur. Dari pagi ke pagi.

Selesai mandi dan sarapan, ia keluar, mendapati sang ayah tengah duduk menunggunya dalam mobil sambil menelepon seseorang dan menggenggam sekerat roti.
Senyum Mutia mengembang. Memang hari ini mereka tak bisa sarapan bersama karena kedua orang tuanya enggan duduk semeja. Namun ia lega karena Ayah atau Ibu sama sekali tak mengabaikannya.
Selama ini Mutia selalu cemas kalau-kalau ia ikut tersingkir dari keluarga kecil yang nyaris runtuh tersebut.

Begitu masuk mobil, dilihatnya tumpukan barang serta tas-tas berisi pakaian memenuhi kursi belakang.
"Itu buat apa, Yah?" tanyanya.
Yang ditanya justru menunjuk ke arah pagar rumah mereka.
Sebuah palang bertuliskan: Rumah Dijual, entah sejak kapan bertengger di sana.
"Rumah ini mau kami jual. Dan barang-barang di kursi belakang sana punyamu." Lelaki itu buka suara; Mutia memucat.
"Kami nggak bisa merawat kamu lagi. Barusan, saya telepon Bu Widji, pengurus pantimu dulu. Menurut peraturan yang berlaku, sebelum enam bulan dan pengesahan di pengadilan, kamu masih milik yayasan. Apalagi rencananya saya dan Istri segera cerai. Otomatis kami harus mengembalikanmu ke panti asuhan."
Disodorkannya sebuah potret tertanggal empat bulan lalu; pasangan muda serta anak adopsinya yang tengah tersenyum bahagia.
"Buat kenang-kenangan." Ia memeluk gadis kecil yang mulai menangis sesenggukan tersebut.


Detail: 498 words
Estimated Reading Time: 1 minute, 58 seconds


Tidak ada komentar: