Translate

Rabu, 18 Maret 2015

Review Winnetou I Kepala Suku Apache

____________________________________________

Judul: Winnetou I Kepala Suku Apache
Pengarang: Karl May
Penerbit: Pustaka Primatama
Tim Penerjemah: Primardina H. Wijayanti (koordinator sekaligus penerjemah), dkk.
Cetakan: V, Februari 2006
Tebal: 542 hlm; 14 x 21 cm
Genre: Travel-Fiction, Adventure

____________________________________________



"Berdiri di samping tempat tidur orang yang akan meninggal merupakan pengalaman menyedihkan. Tapi kesedihan akan menjadi seratus kali lipat jika yang mati itu adalah sebuah suku bangsa."

Novel karya Karl May yang originalnya terbit tahun 1893 dalam bahasa Jerman ini (iya, buku lama) lumayan menarik perhatian saya begitu membaca bagian pengantar serta pembuka bab pertama.
Baru menyimak beberapa potong kalimatnya saja sudah membuat hati terenyuh sekaligus jengkel.
Karl May telah menampar dan mengingatkan saya bahwa di dunia ini masih banyak sekali orang; atau dalam konteks ini suku bangsa serta kelompok masyarakat tertentu yang diperlakukan secara tidak adil.
Betapa jahatnya manusia yang memanfaatkan kebaikan serta keluguan manusia lain demi kepentingan dan keserakahan dirinya sendiri.

Di bagian pengantar, Karl May memaparkan sejarah singkat soal orang kulit putih yang baru pertama kali menapakkan kaki mereka di tanah Amerika, tanah yang mulanya dihuni oleh orang-orang kulit merah; suku Indian.

Orang kulit merah menyambut tamu jauhnya dengan tangan terbuka, bahkan mengadakan semacam ritual penghormatan sakral.
Tapi siapa sangka? Tamu-tamu itu justru tersenyum sok manis sambil menyembunyikan pisau tajam di balik punggung mereka. Menjanjikan perdamaian, dan serentetan omong kosong lain namun siap menghunus sang tuan rumah kapanpun mereka lengah.

"Yang kuat memakan yang lemah." Terdengar jahat memang, tapi pada kenyataannya hukum itu sudah menyebar dan dapat diterima di seantero jagad. Orang kulit merah terpaksa menyingkir setapak demi setapak dari tanah milik mereka sendiri, karena dengan brutalnya mereka dikejar dan dibantai habis-habisan hingga nyaris punah.


Karl May


Setelah membahas sejarah genosida suku Indian, di bab-bab selanjutnya Karl May mulai meracik kisah unik tentang greenhorn pemberani asal Jerman yang baru tiba di Wild West (Amerika).
Dalam novel ini penulis menggunakan gaya penulisan solilokui. Sejak awal ia menyebut si tokoh utama dengan kata ganti orang pertama, yakni "Saya," kemudian tokoh-tokoh lain yang berinteraksi dengan tokoh utama pun hanya memanggilnya dengan "Anda, Sir, Gentleman, Greenhorn, Old Shatterhand," dan berbagai julukan lain.
Entah karena kurang teliti atau bagaimana, tapi saya belum benar-benar menemukan penulis menyematkan nama asli sang tokoh utama. Pembaca dibuat percaya bahwa tokoh "Saya" adalah Karl May dan pengalaman hidupnya sendiri.
Belakangan (di buku-buku selanjutnya) baru disebutkan kalau pemuda Jerman itu bernama Charley.

Charley merupakan sesosok greenhorn yang cerdik, tangkas, lagi mahir dalam segala hal. Sifat-sifatnya tergambar secara gamblang hingga terkesan berlebihan bahkan tidak masuk akal menurut saya. Karakternya dibentuk sedemikian rupa seolah tanpa cacat.
Ia dipercaya untuk bekerja sebagai surveyor lalu dikirim ke daerah hulu Rio Pecos dan Pegunungan Canadian Selatan. Tugasnya tak lain adalah mengukur jalan di wilayah tersebut guna membangun jalur kereta api. Namun tanpa diduga ia justru menemui banyak hambatan. Mulai dari rekan-rekan kerjanya yang sulit untuk diajak bekerja sama, hingga terlibat pertikaian bertubi-tubi dengan pemimpin westman dan para anggotanya.

Westman sendiri merupakan istilah ciptaan pengarang untuk man of the west atau lebih tepatnya frontierman. Supaya otentik, istilah keliru ini tetap dipertahankan.
Westman-westmen terpilih bertugas untuk menjaga surveyor dari berbagai ancaman seperti gangguan hewan buas (bison, mustang, beruang grizzly) atau bahkan serangan mendadak dari bangsa Indian, karena rupanya orang-orang kulit putih ini membangun jalur kereta api di atas tanah milik bangsa Indian suku Apache Mescalero tanpa izin.

Suatu hari kepala suku Apache (Intschu Tschuna) beserta anaknya (Winnetou), dan salah seorang guru kehormatan Apache (Klekih-petra), datang untuk memberi peringatan keras sekaligus mengusir mereka dari tanah tersebut.
Ketiga Apache itu takut kalau pembangunan rel kereta api justru membuat kaum mereka makin terdesak dan sengsara oleh kehadiran para pendatang baru. Padahal selama ini mereka sudah berusaha mengungsi sejauh mungkin.
Namun sayangnya terjadi kesalahpahaman antar Winnetou dan pimpinan westmen hingga berujung malapetaka.
Sejak itulah sang tokoh utama yang ikut terlibat sebagai surveyor mulai berurusan dengan orang-orang Apache.

Kisah ini masih amat panjang. Pengarang menulisnya hingga empat seri Winnetou, dan buku-buku tersebut begitu populer di masanya.
Jujur saja, saya menyukai genre-genre macam ini.
Kisah tentang perburuan, petualangan di belantara liar, pertemuan dengan suku-suku pedalaman, kegiatan memata-matai, bahkan penyelidikan, serta pencarian jejak a la Indian tak pernah gagal merampok perhatian saya. Untuk itu, saya memberi 4 dari 5 bintang.

Selain menarik, di dalamnya juga mengandung banyak sekali nilai-nilai moral seperti keadilan, kejujuran, dan keberanian. Melalui karya-karyanya, Karl May menyerukan ajakan perdamaian bagi seluruh umat manusia tanpa pandang kebangsaan, warna kulit, suku, ras, dan agama.

Saya agak terkejut karena menurut Mas Wiki, tokoh dunia kelas Albert Einstein dan Adolf Hitler pun turut menggemari karya-karya Karl May.


Diikutkan dalam #ReviewMaret @ridoarbain @momo_DM @danissyamra di https://bianglalakata.wordpress.com/2015/03/03/reviewmaret-ayo-me-review-buku-fiksi/

Tidak ada komentar: