Translate

Rabu, 21 Juni 2017

Terhantam Palu





Sering, aku merasa bak berada di luar jangkauan semesta.
Seolah hewan lain tak mampu melihatku karena aku terlalu sibuk menyembunyikan diri.
Ya, kuakui aku sering sembunyi.
Sering sembunyi bukan berarti aku senang sembunyi.
Aku tidak senang.
Aku ingin membawa diriku keluar dari cangkang yang tanpa kusadari terus menebal seiring berjalannya waktu. Menempel lekat layaknya disolder dengan timah panas pada tubuhku yang berlendir.

Kadang cangkang itu melindungi, membuatku merasa nyaman. Namun tak jarang benda ini justru mengekang. Memberatkan.
Aku ingin melepasnya. Menunjukkan pada dunia bahwa aku ada. Di sini. Di semesta yang sama dengan semesta yang mereka pijak.
Aku lelah bersembunyi dalam ketidak nyamananku. Dalam deret ketakutan yang kurakit di benakku sendiri.
Ketika semua hewan berlomba-lomba maju dengan cepatnya, aku berjalan lamban tertatih.
Membiarkan lendirku menari meninggalkan jejak kental, lengket, lagi jelek di belakang.

Sungguh, ingin kupecahkan saja cangkang beratku ini.
Aku hanya belum tahu pasti metode macam apa yang harus digunakan.
Perlukah kusuruh seorang di antara manusia-manusia itu untuk mengambil palu dan memukulkannya padaku agar cangkang tersebut menjelma serpihan?

Ah, tidak juga.
Aku belum siap dikenang sebagai seekor siput yang mati terhantam palu.
Itupun kalau ada yang sudi mengenangku.
***