Translate

Rabu, 04 Maret 2015

Review Stardust by Neil Gaiman

Sebenarnya sudah sejak beberapa tahun lalu saya membaca novel Stardust. Namun kemarin entah ada angin apa saya tergiur untuk membacanya ulang, dan menuliskan sedikit review tentang buku lawas ini.
Biar bagaimanapun novel-novel karya Neil Gaiman memang selalu berhasil mempermainkan imajinasi saya.
Sebagai sosok manusia yang menginjak usia dua puluhan (dan mungkin sudah tak bisa dianggap anak kecil lagi; bila tak mau disebut tua), saya sempat bertanya dalam hati, apakah kekanakan bila sampai detik ini saya masih menyukai tulisan-tulisan beliau?
Karena jujur saja, sebagian besar karya Neil Gaiman bergenre fantasi, diceritakan bak dongeng, dan memang sengaja ditulis untuk menemani imajinasi liar anak-anak. Kita semua tentu tahu bahwa salah satu novelnya, Coraline, sempat diadaptasi ke dalam sebuah film animasi.





Mungkin saya memang bukan lagi anak kecil. Namun tak perlu jadi anak-anak hanya untuk turut menikmati sebuah dongeng, kan?
Dalam kesempatan kali ini saya ingin me-review novel beliau yang siapa tahu dapat sedikit menggeser presepsi kita semua tentang dongeng.
Berikut tampilan cover serta detailnya:





Judul: Stardust (Serbuk Bintang)
Pengarang: Neil Gaiman
Alih Bahasa: Femmy Syahrani dan Herman Ardiyanto
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2007
Tebal: 256 halaman
ISBN: 979-22-2688-5


"Ini dongeng untuk orang dewasa." Terang Neil Gaiman sebagai kalimat pembuka sinopsis.
Entah mengapa saya merasa agak spesial sekaligus tergelitik saat membaca tulisan tersebut. Spesial karena seolah buku ini dialamatkan khusus untuk saya haha.
Dari sinopsisnya pun beliau sudah berani menampik stereotip tentang dongeng yang cuma diperuntukkan bagi bocah-bocah saja. Senang mengetahui bahwa saya masih 'diizinkan' membaca dongeng.

Dikisahkan zaman dahulu kala, terdapat sebuah desa kecil di Inggris bernama desa Tembok.
Di sebelah timur desa itu menjulang sebuah tembok raksasa yang terbuat dari balok-balok granit kasar. Hanya ada satu celah kecil pada tembok kuno tersebut yang menghubungkan antara orang-orang desa Tembok dengan negeri di luar tembok.
Namun sejak ratusan tahun lalu celah kecil itu diapit dan dijaga bergantian oleh pria-pria desa. Anak kecil, para pengelana, atau siapapun akan diusir bila kedapatan mendekat atau hendak melintas celah.
Penjagaan hanya dilonggarkan tiap sembilan tahun sekali. Ketika kaum dari luar tembok mengadakan Pekan Raya Peri serta mendirikan kios-kios di sekitar padang rumput tepat di balik tembok.
Ya, penghuni di luar desa Tembok adalah peri-peri serta penyihir.

Dunstan Thorn seorang pemuda tanggung dari desa Tembok, tak sengaja menjalin hubungan dengan peri cantik penjaga kios di pekan raya. Memang perjumpaan mereka berjalan tak lebih dari sehari semalam, namun siapa sangka bahwa dari pertemuan singkat itu mereka justru menghasilkan keturunan: Tristan Thorn.
Sejak kecil bocah setengah manusia dan setengah peri itu tinggal di bawah asuhan ayahnya di dalam tembok. Sementara sang ibu tetap tinggal entah di sudut mana di negeri peri.

Petualangan Tristan resmi dimulai suatu malam, ketika ia memberanikan diri untuk melangkahkan kaki ke luar dari desa. Namun sebelumnya, tentu ia harus melewati para penjaga yang mengapit celah penghubung antara desa Tembok dan negeri peri.

Setelah membaca novel ini hingga akhir, penilaian yang dapat saya buat adalah empat, dari skala satu sampai lima.
Mengapa hanya empat? Karena sejujurnya, di awal saya merasa amat-amat-amat bosan dengan kisah cinta antara Bridget Comfrey dan Tommy Forester muda, orang tua dari Victoria Forester, gadis yang nantinya membuat Tristan jatuh hati hingga rela meninggalkan desa Tembok. Entah karena belum terbiasa dengan bahasa yang digunakan oleh penerjemah dalam novel ini, atau karena memang plot saja yang kurang menarik. Ya, ada sesuatu yang mengganggu mood membaca saya di bab-bab pertama.
Namun lambat-laun setelah karakter utama menginjakkan kaki di dunia peri, saya mulai benar-benar menikmati dan terjun bebas ke dalam kisah mereka. Terasa ringan, menarik, dan seru.
Sekali lagi Neil Gaiman berhasil membawa saya berkelana ke hutan-hutan indah, desa Tembok, serta dunia peri.
Membuktikan bahwa dongeng bukan tercipta hanya untuk anak-anak saja, bahkan kita pun bisa menjadi salah satu penikmat setianya.
Saya lumayan setuju dengan kutipan di bawah:





P.S. Novel ini direkomendasikan untuk mereka; orang dewasa yang rindu akan dongeng.

Bye.

Tidak ada komentar: