Translate

Rabu, 16 April 2014

Untitle

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!




Surabaya, Januari 2014

Dear Mekar,
Maaf, minggu lalu aku terlalu sibuk hingga tak sempat membalas suratmu. Terlalu banyak hal yang perlu kuliput akhir-akhir ini, mulai dari peristiwa kecelakaan lalulintas sampai tawuran antar supporter sepak bola, kau tahu sendiri kan? Penggila sepak bola di negara ini selalu hilang kendali saat klub kesayangannya kalah. Seolah tak ingat banyak hal lebih penting di dunia yang perlu mereka lakukan dibanding mengumbar amarah hanya karena kekalahan konyol. Lucu memang. Mereka bertengkar sendiri hingga jatuh korban, sementara hubungan antar pemain klub kota ini dan kota sebelah biasa saja.
Aku sering heran, mengapa mereka mau melakukan hal-hal beresiko seperti itu? Apakah mereka tak ingat masih punya istri, anak, atau keluarga di rumah?
Tapi jujur saja, terjun langsung di tengah keriuhan itu membuatku memposisikan diri dalam situasi yang sama. Sempat terpikir bagaimana seandainya bila saat meliput, aku malah jadi salah satu korban? Aku sadar bahwa apa yang kulakukan juga beresiko. Menenggelamkan diri di tengah massa yang kutahu sedang murka, hanya demi mendapatkan gambar mereka. Kemudian bila sedang sial, aku akan mati konyol karena terinjak-injak atau terkena serangan yang salah sasaran. Jelaslah tindakanku jauh lebih dungu.

Tapi tak apa, toh aku masih punya alasan berharga untuk melakukan hal macam ini: Kau dan Nandia. Setidaknya aku mendapat upah atas apa yang kulakukan, benar begitu? Haha. Omong-omong, bagaimana kabar Nandia? Aku rindu. Aku merindukan kalian berdua.


Surabaya, Februari 2014

Dear Mekar,
Mekar sayang, aku terkejut saat menerima suratmu kemarin! Bukan main, rupanya Nandia sudah mulai bisa merangkak sekarang. Aku senang kau mengirimiku foto-fotonya, terutama saat kalian duduk bersama di pendopo Bebek Bengil itu haha.
Kurasa aku mulai rindu Nusa Dua. Kuharap aku bisa pulang lebih cepat, dan menyantap Bebek Bengil bersama kalian. Kirimi aku lebih banyak foto di surat berikutnya sayang.


Surabaya, Maret 2014

Dear Mekar,
Aku sedang prihatin dengan pola pikir manusia zaman sekarang.
Banyak orang mulai bertanya-tanya mengapa di era digital ini kita tak saling berkirim email, sms, atau pesan di jejaring sosial saja. Mengapa kita mau repot-repot menulis di kertas, membeli amplop, perangko, kemudian menitipkannya ke kantor pos?
Bahkan ada salah seorang teman kosku yang berkata,
"Kau ini wartawan, setiap hari biasa mengetik dan mengedit artikel di laptop. Sudah jelas kau bukan orang gaptek, tapi mengapa kau masih saja menulis surat?
Apa justru istrimu yang gaptek? Lagipula aku tak pernah melihat kau meneleponnya, jangan-jangan istrimu pun tak tahu bagaimana cara kerja handphone? Haha"
Kemudian aku tak sengaja memukulnya. Ya, sebelum ia sempat menangkupkan mulut, aku mendaratkan kepalan tanganku di lubang busuk itu. Giginya tanggal beberapa, bibirnya berdarah, dan aku sedikit menyesal. Mungkin aku terlalu terbawa emosi, aku lupa dia hanya orang luar yang cuma bisa menilai tanpa paham situasi sebenarnya. Dan pada akhirnya manusia bebal itu memang mengaku bahwa ia hanya bercanda.

Jangan khawatir Mekar sayang, tak ada salahnya berkirim surat. Mereka tak tahu saja sensasi adiktif dan nostalgik yang kita dapat ketika menulis surat. Justru ini hal jarang di masa sekarang yang patut kita lestarikan, bukan? Haha.
Kurasa zaman yang serba instan dan modern ini terlanjur memangkas kesederhanaan, membuat orang lupa dan meremehkan hal-hal kecil. Mereka tak paham justru hal-hal kecil ini yang dapat membuat kebahagiaan kita bertahan lebih lama.
Contohnya saja, email? Inboxku selalu penuh oleh berondongan email, dan itu sesuatu yang biasa menurutku. Tapi begitu kutahu tukang pos mampir ke kos dan menitipkan sepucuk surat darimu? Kau tak dapat menebak betapa girangnya aku!!


Surabaya, April 2014

Dear Mekar,
Surat terakhir yang kau kirim benar-benar membuatku sedih. Tidak, kau tak perlu memaksakan diri belajar menggunakan telepon genggam atau bahkan laptop.
Bukan aku ingin kau terus-terusan dicap gaptek atau bagaimana, aku hanya tak mau kau memaksakan hal yang sebenarnya membuatmu tak nyaman cuma untuk menuruti kata-kata orang. Kalau kau tak suka, kau tak perlu melakukanya. Aku sudah senang menerimamu apa adanya.
Dan pernah kubilang bukan? Surat-surat darimu adalah salah satu sumber kebahagiaan tersendiri bagiku.

Ngomong-ngomong, minggu depan aku pulang. Tak sabar bertemu lagi denganmu dan Nandia. Kita harus ke The Bay. Bermain-main di Nusa Dua, dan makan Bebek Bengil sepuasnya. Kosongkan perutmu, sayang!

****




The Bay Bali, 16 April 2014

Matahari nampak bertengger di ufuk barat.
Bersiap melebur bersama lautan, bak sepotong biskuit yang hendak dicelupkan ke secangkir teh hangat sebelum digigit. Manis.
Para pelancong yang rata-rata bercelana pendek serta berbikini pun mulai bergerombol, berpasangan, dan duduk santai di sepanjang pantai Nusa Dua demi menikmati semburat rona jingga penghias angkasa. Mereka menunggu satu moment yang sebenarnya tersaji tiap hari, namun tabu untuk dilewatkan. Matahari terbenam.

Berbeda hal nya denganku. Aku memang tengah duduk di sebuah pendopo yang menghadap ke laut lepas, namun pandanganku tetap lekat pada satu sosok yang amat kurindukan. Setelah berbulan-bulan lamanya bertugas di luar kota, akhirnya aku dapat kembali menikmati paras elok tersebut. Mata bulat berbinar, kulit putih susu, rambut panjang bergelombang sewarna arang, serta bibir tipis yang senantiasa tersenyum lembut.
Dipangkuannya terduduk gadis cilik berparas nyaris sepertiku. Perpaduan antara aku dan wanita ini.
"Papa! Papapa!" Ia mengoceh memperhatikanku. Sementara wanita itu, Mekar, mengangguk membelainya penuh kasih.
"Bagaimana dia bisa belajar bicara?" Aku terenyuh.
Mekar menoleh ke arahku, tersenyum, lalu dengan bantuan kedua belah tangannya, menuliskan sesuatu di sebuah notes yang memang selalu dibawanya kemana-mana.

'Baru-baru ini aku mempekerjakan orang untuk membantuku menemaninya bicara, aku sadar sudah saatnya ia diperkenalkan cara berbicara dan nama-nama benda di sekitarnya, benar begitu bukan?'

Tulisan tangannya tak begitu rapi, tapi aku sudah terbiasa membacanya, dan kurasa tak ada seorangpun di planet ini yang tak mampu memaklumi hal tersebut.
"Oh, maafkan aku. Selama ini aku tak bisa membantumu mengasuhnya." Mekar menggeleng mengusap bahuku lembut.
"Sini, biar aku menggendongnya," Kuambil Nandia dari dekapan Mekar. Aku tak tega membiarkan lengannya terlalu lelah. Istriku terlahir dalam keadaan bisu, kedua tangannya pun buntung tanpa jemari. Membuatnya tak mampu menggunakan tangan untuk berkomunikasi layaknya orang bisu. Namun Mekar tak lekas menyerah pada keadaan, ia belajar menulis dengan menggunakan otot-otot tangan yang masih disisakan Tuhan untuknya. Dengan cara itulah Mekar 'berbicara' pada dunia. Penuh perjuangan memang, namun ia berhasil.

Mendadak aku teringat ucapan teman sekosanku.
Aku sadar, aku tak akan pernah bisa bertelepon dengan istriku. Kenyataannya aku malah mengoceh sendiri di gagang telepon, tanpa sanggup mengharapkan adanya jawaban dari seberang sana.
Aku sadar, aku tak pernah bisa berbalas sms atau sekadar ucapan selamat malam dengan emoticon titik dua bintang di bagian akhir. Itu hanya akan membuatnya frutasi, saat alphabet yang tersentuh pada papan qwerty virtual, tak sesuai dengan alphabet yang ia harapkan.
Dan aku sadar, aku mencintainya apapun dirinya. Aku bahagia hidup dengan jutaan percakapan yang ia suarakan melalui rangkaian tulisan tangannya. Aku bahagia dapat membaca ulang tiap dialog yang kami lakukan sepanjang hidup kami. Bahkan aku berpikir itu akan menjadi hiburan yang mengharukan di penghujung usia kami kelak, ketika Nandia telah dewasa dan berumah tangga sendiri, ketika yang dapat kami lakukan hanya duduk-duduk berdua di serambi sambil menikmati secangkir teh hangat menghadap ke sinar mentari. Menunggu sang ajal menjemput kami.
Dan aku bersyukur memilikinya yang tetap tersenyum delam segala keterbatasan.
Mudah-mudahan tak kan ada satu pun hal di dunia ini yang sanggup mengubahnya...

"Hey, kenapa malah melamun? Bebek Bengilmu sudah dingin, sayang!" Ujar Mekar tiba-tiba.


Aku tertegun.


Kukira aku salah soal 'tak ada satu pun hal di dunia yang sanggup mengubahnya', karena nyatanya penulis telah resmi mengubah alur cerita kami detik ini juga.


End.



Tentang penulis: Dinda Faiza Putranto, gadis kelahiran Surabaya, 22 Juli 1994. Mulai menulis sejak bisa menulis, dan mulai gemar membaca sejak dapat membaca. Twitter account: @dindafza

Tidak ada komentar: