Translate

Minggu, 18 Maret 2012

Pincers World


Apa pendapatmu kalau seandainya seekor kepiting berpasangan dengan kalajengking?
Mereka sama-sama memiliki capit, apakah mereka akan saling mencapit satu sama lain? Atau... apakah mereka justru dengan mudah bersatu karena adanya persamaan tersebut?


Aku, adalah seekor kepiting betina. Aku termasuk hewan yang tak terlalu banyak bicara, karena aku memang tak mahir dalam hal tersebut. Namun bila ada yang menggangguku, aku tak akan segan mencapitnya tanpa harus memberi peringatan terlebih dahulu. Di sekolahku aku memiliki dua ekor sahabat dari spesies hewan yang berbeda, Zoe si ulat gemuk dan Mex si anak tikus penakut. Kami bertiga berteman sejak lama, aku tahu semua rahasia mereka, dan tentu saja mereka tahu semua rahasiaku, termasuk rahasia bahwa aku yang notabene seekor kepiting ini terlanjur jatuh hati pada kalajengking dari kelas sebelah. Padahal seluruh dunia juga tahu bahwa hal itu benar-benar menyalahi aturan. Aku tak boleh jatuh cinta pada spesies lain kecuali sesama kepiting. Bila hal itu sampai terjadi, maka akan timbul ketidak seimbangan dalam ekosistem tentu saja.

Namun apa mau dikata?
Kalajengking itu pintar, memiliki selera humor yang bagus, serta gerak-gerik penuh kuasa. Capitnya kuat, mengkilat, dan keren. Berbeda dengan capitku yang lemah. Bukan karena aku betina, sebenarnya memang capit semua kepiting jantan pun akan terlihat amat tak bertenaga bila dibandingkan dengan capit kalajengking yang satu itu.
Intinya, aku benar-benar mengaguminya. Aku menyukainya. Dan agar dapat dekat dengannya, aku melakukan berbagai macam riset tentang tingkah laku kalajengking, mencari tahu apa saja yang ia sukai, mengumpulkan beberapa fakta menarik tentang spesies mereka di Google, bahkan bertanya langsung perihal kepribadiannya pada salah seekor anak kambing, teman sekelas si kalajengking yang dengan berbaik hati mau membantuku.

Ketika sudah merasa cukup memahaminya, aku mulai mengajaknya mengobrol lewat dunia maya. 'Mengobrol' dengan tulisan, karena seperti yang kubilang tadi, aku tak pandai berkata-kata.
Beruntung aku lahir di era penuh dengan media sosial seperti Facebook, Twitter, Google Plus, Plurk, Blog, Tumblr, Bebo dan lain sebagainya ini, sehingga aku dapat dengan mudah berkomunikasi dengannya tanpa harus bertatap muka, yang sudah pasti akan membuat seluruh cangkangku bersemu merah karena malu.
Tiap hari aku mengajaknya membicarakan hal-hal yang ia sukai hanya agar ia merasa nyaman mengobrol denganku. Setelahnya, apapun yang kuobrolkan dengan kalajengking kuteruskan pada tikus dan ulat yang memang selalu menagih cerita-cerita semacam itu dariku.

Jujur saja, awalnya mereka tak dapat menerima hal tersebut. Mereka melarangku untuk memperdalam perasaanku, karena mereka menganggap usahaku akan sia-sia pada akhirnya.
"Kau kepiting, dia kalajengking." Hal itulah yang terus dikomat-kamitkan bak mantra oleh kedua sahabatku. Namun aku selalu membantahnya, "Dia jantan, aku betina. Dan kami sama-sama punya capit."
Karena aku bersikeras, mau tak mau mereka luluh dan memutuskan untuk menemaniku berjuang. Mereka berpikir untuk membiarkanku sampai aku menyerah dengan sendirinya. Tapi tentu saja tidak, akan kutunjukkan pada mereka bahwa kepiting dan kalajengking pasti dapat bersatu.

Suatu sore aku mendengar bahwa Pincers World akan diselenggarakan di kampus sepupuku, kepiting betina itu mengajakku untuk pergi bersama melihat event tersebut. Pincers World merupakan salah satu event bergengsi tahunan bertemakan kebudayaan hewan-hewan bercapit. Tak heran bila kebanyakan yang datang ialah kepiting, kalajengking, keong, lobster dan hewan pencapit lainnya. Namun tetap saja event ini terbuka untuk umum, hewan apapun bebas masuk asal mengenakan kostum dengan capit tambahan di tubuhnya.
Akan ada banyak makanan lezat, costume player, band, games, dan lain sebagainya, yang kemudian ditutup manis oleh pesta kembang api di akhir acara.

Berdasarkan obrolanku dengan kalajengking serta riset yang kulakukan selama ini, aku sadar benar dia amat mengagumi budaya spesiesnya, dan keunggulan yg diberikan oleh Tuhan kepada kami, hewan-hewan bercapit.
Bermodalkan sejumput keberanian, aku mengajaknya untuk datang bersama ke event tersebut, dan dari respon yang ia berikan, ia nampak tertarik. Atau setidaknya aku sempat berpikir begitu.
Aku begitu senang. Detik itu juga imajinasiku melayang-layang di udara, membayangkan berbagai hal yang mungkin dapat kami lakukan bersama, misalnya menonton pesta kembang api. Bukankah itu ummm... lumayan romantis?
Yang jelas bila hal itu benar-benar terjadi aku harus mengabadikan banyak gambar. Itu akan menjadi kenangan tak terlupakan.

***

Tibalah hari di mana Pincers World diselenggarakan, sore itu aku telah bersiap untuk berangkat ke sana dengan sepupu kepitingku. Tanpa kami duga awan hitam menggenang di angkasa. Langit yang tadinya terang-benderang kini berubah muram.
"Yah... mendung, bentar lagi pasti hujan. Gimana nih mau tetap berangkat?" Tanya sepupuku sambil mengangkat capitnya ke arah arakan awan.
Aku dengan cemas membayangkan wajah kecewa kalajengking bila aku batal berangkat. Bagaimana kalau seandainya ia sudah tiba duluan di sana dan sedang menungguku?
Aku tak dapat memastikannya secara langsung karena sial sekali, aku tak punya nomor ponselnya.
Alhasil, aku dan sepupuku memaksakan untuk tetap berangkat.




Setibanya di sana, aku amat terpukau dengan keadaan sekeliling.
Berbagai jenis spesies binatang berkumpul di sana menggunakan capit-capit pasangan. Anjing dengan capit di ekor, landak dengan ratusan capit imut di masing-masing durinya, banteng bertanduk capit, dan lain sebagainya. Mereka semua nampak imut dan lucu.
Aku serta sepupuku tak kuasa menahan keinginan kami untuk berpose bersama mereka. Hewan apapun yang kami temui mengenakan capit pasangan, akan langsung kami tarik untuk berfoto meski kami tak mengenal mereka barang sedikitpun. Ini lumayan menyenangkan. Tapi... masih ada satu hal yang kurang. Aku melirik ke sana-ke mari, mencari satu sosok yang kuharap berada di sini.
Nihil, aku tak berhasil menemukannya. Saat itu juga harapan dan imajinasiku sirna. Seolah memahami perasaanku, awan yang sedaritadi terasa sendu kini memuntahkan air matanya.

"Eh gerimis! Yuk cari tempat teduh!" Sepupu kepitingku dan aku berlari-lari kecil ke arah sebuah stan penjual es krim goreng dan beberapa camilan. Sambil menunggu hujan reda, kami memesan es krim goreng di sana lalu mulai mengutak-atik ponsel masing-masing. Aku log in Facebook, dan melihat beberapa notifikasi. Salah satunya dari kalajengking yang menulis sesuatu di dindingku. Rupanya ia batal datang. Ada beberapa tugas sekolah yang harus ia selesaikan. Tugas kelompok dengan beberapa teman sekelasnya.
Baiklah, ini agak... ajaib. Mungkin aku mengharap terlalu banyak. Kini seluruh harapanku terhempas sudah.
Seharusnya ini menjadi hari yang sempurna. Hari di mana hewan dari spesies apapun sangat mungkin bersatu. Bahkan landak, anjing dan banteng pun dapat membaur di sini, tentu bukan hal yang mustahil bagi kami, kepiting dan kalajengking untuk bersatu. Yah, meskipun mungkin 'bersatu' disini bukan dalam ikatan perasaan, tapi tetap saja... tak ada yang tak mungkin. Benar kan?
Atau,
Mungkin kah aku salah? Apa tingkat khayalku sudah terlalu tinggi hingga tak mampu membedakan antara yang mungkin terjadi dan yang mustahil terjadi?
Apa kedua sahabatku, Zoe dan Mex benar?
Kami... tak akan pernah bersatu.

Dia kalajengking, aku kepiting. Kami sama-sama punya capit, bukan untuk dipersatukan. Mungkin memang capit ini diciptakan untuk saling mencapit. Dan rupanya ia sudah memahami teori ini lebih dulu daripada aku, karena tanpa kusadari ia telah berhasil mencapit dan mengoyak hatiku sore itu.

FIN.


Cerita ini bukan fiktif belaka, ketidaksamaan nama dan wujud tokoh memang atas unsur kesengajaan.




posted from Bloggeroid

Tidak ada komentar: